“Ada apa sih, kurang
kerjaan banget nulis nulis beginian!” Apa kamu juga sampai berceracau
seperti itu?
Iyaa, aku memang kurang kerjaan di sini tapi banyak pekerjaan
sedang menungguku di Semarang. (berasa orang penting, padahal tugas kuliah :D
:D)
Kamu sadar tidak? Kelakuanmu sekarang memprihatinkan, hingga
sempat terlintas di kepalaku bagaimana jika kamu tak masuk pesantren, masuk
pesantren saja kelakuanmu seperti itu. Kamu memang tidak seperti anak-anak yang
kelakuaannya macam-macam di luar sana, pakai narkoba, zina, urak-urakkan,
pengangguran madesu, dsb. Tapi, ahh… aku tak kuasa membeberkannya, kamu pasti
tahu dan semoga segera sadar bahwa kelakuanmu selama ini mungkin sudah
menyakiti banyak orang, termasuk Mae dan Bapak yang sudah berkorban, emm bukan
berkorban tepatnya berjuang demi KAMU. Dan, aku tentunya…. Yang menulis surat
ini.
Duhh, sudah mulai tegang, tapi yang harus aku sampaikan masih
banyak.
Bacalah baik-baik, simpanlah baik-baik surat ini dan
bersikaplah biasa saat kita bertemu di rumah, atau dimana saja, anggap saja
bukan aku yang menulis dan mengirimkannya. Tapi, ingat satu ini : apa yang
tertulis di surat ini bukan sekadar omong kosong atau basa-basi. Ini amanah
yang tak mampu aku sampaikan dengan lisanku yang tidak berbakat untuk berbicara
‘banyak’ dan ‘dalam’ seperti ini. Sungguh, saat aku dan kamu bersama mungkin
aku hanya seperti cewek kekanakan yang tak punya keberanian terhadap apapun, pemalu
tingkat akut, mungkin itu semua memang benar tapi, I have been thinking anything until now if you want to know.
Ini bukan rahasia, ini hal yang sebenarnya sangat umum dalam
setiap tarik nafas kehidupan manusia. Kemarin, saat aku mampir ke Cikarang menemui
Bapak dan Mae, Bapak berpesan padaku saat mengantarku mencari bus, pesannya
simple saja, tapi berat. Menyemangatimu yang sedang tidak betah, mendorongmu
untuk tetap bertahan. Lihat, sederhana sekali bukan? Tapi, sulit kalau objeknya
adalah KAMU. Apa yang harus aku katakan?
Aku sendiri saja sering ‘merasa’ dan ‘mengira’ aku salah tempat dan pada
akhirnya menyemangati diri sendiri. Oyaa, mungkin suatu saat nanti akan aku
ceritakan padamu tentang dua teman setiaku, senja dan shubuh hari.
Sampai pada akhirnya aku menemukan ide untuk menulis surat
ini, menulis saja yang aku bisa. Menulis, yang padahal paling malas aku
lakukan. Meski setiap kali aku menemukan ‘something’, ada sesuatu di kepalaku
yang terasa seperti pulpen menulis sendiri, berkisah sendiri dan saat aku sudah
siap menari di depan keyboard, buzzzz…. Lenyap. Membuatku bingung apa yang tadi
akan aku tulis. Sorry ya, curhat dikit. :D
Masih ingat tentang syukur tadi, kan? Aku tahu kamu bukan
pelupa.
Kamu dan aku seharusnya bersyukur banyak-banyak karena Bapak
dan Mae adalah tipe orang tua yang memperhatikan pendidikan anak-anaknya,
bahkan dengan keadaaan ekonomi yang mungkin jika di-flashback pada 4 atau 5
tahun lalu tak akan mungkin bisa mengantarkan aku ke tingkat perguruan tinggi
seperti sekarang, dan nyatanya memang tidak karena aku mendapat beasiswa. Tapi, kamu bisa sampai
SMA, kan? Mae harus sampai turun ikut bekerja juga. Dengan keadaan ekonomi yang
seperti itu Bapak mungkin bisa membiarkan kita bekerja setelah lulus sekolah,
membiarkan kita menguras tenaga untuk mengumpulkan berkarung-karung uang,
membiarkan kita merantau ke kota orang menjadi bagian diantara jutaan orang
yang mengadu nasib. Membeli motor, memperbaiki rumah, membeli perabot-perabot
mahal, setelah itu menikah. Dan, apalagi
yang akan terjadi selain kita menunggu mati? Lalu, pernahkah bertanya dengan
skenario seperti yang aku ceritakan itu bekal apa yang sudah kita persiapkan?
Kalau dalam skenario itu tak pernah sekelebatpun terlintas mengumpulkan uang
untuk membuat panti asuhan, panti tempat anak-anak jalanan, rumah baca, atau
untuk kegiatan sosial lainnya dan menunaikan rukum islam yang kelima tentu kita
belum punya bekal banyak. Bahkan, prasangkaku yang paling buruk dengan skenario
itu adalah kita menjadi orang-orang yang lalai, foya-foya, tak berniat mengkaji
agama lebih jauh atau menghapalkan juz 30 seperti sekarang. Hei, aku baru
ingat, sudah sampai surat apa hapalanmu??
Allah masih baik kan pada kita, melalui orang tua yang
‘unpredictable’ (aku sedang suka sekali menggunakan istilah itu akhir-akhir
ini). J
Aku masih ingat pesan Bapak, bahwa kita harus lebih baik daripada Bapak, yang
cuma lulusan SD, kuli bangunan lagi. Begitu Bapak selalu menyemangati. Apakah
kamu pernah merenungkan Bapak dan Mae yang ternyata sangat luar biasa? Bapak
dan Mae tak pernah membebani kita dengan pilihan, harus sekolah disini, harus
seperti ini, harus seperti itu. Kebebasan untuk memilih ada pada kita, Bapak
dan Mae hanya mengarahkan sisi baiknya, ya kan? Pernahkan kamu sadar itu?
Kemarahan yang mungkin muncul itu karena kita tak dengan mudah patuh pada
nasehatnya, itu saja. Kita diberi kebebasan untuk menimba ilmu lebih jauh,
kalau kamu belum percaya bahwa kekuatan ilmu ini akan lebih luarbiasa dibanding
harta, kita lihat 10 tahun atau bahkan 5 tahun lagi. What would our life be??
0 komentar:
Post a Comment