Friday, February 21, 2014

Unpredictable Letter #Sheet 2




Apakah sedari tadi kamu berpikir apa tujuanku menulis surat ini?
Ada apa sih, kurang kerjaan banget nulis nulis beginian!” Apa kamu juga sampai berceracau seperti itu?
Iyaa, aku memang kurang kerjaan di sini tapi banyak pekerjaan sedang menungguku di Semarang. (berasa orang penting, padahal tugas kuliah :D :D)


Kamu sadar tidak? Kelakuanmu sekarang memprihatinkan, hingga sempat terlintas di kepalaku bagaimana jika kamu tak masuk pesantren, masuk pesantren saja kelakuanmu seperti itu. Kamu memang tidak seperti anak-anak yang kelakuaannya macam-macam di luar sana, pakai narkoba, zina, urak-urakkan, pengangguran madesu, dsb. Tapi, ahh… aku tak kuasa membeberkannya, kamu pasti tahu dan semoga segera sadar bahwa kelakuanmu selama ini mungkin sudah menyakiti banyak orang, termasuk Mae dan Bapak yang sudah berkorban, emm bukan berkorban tepatnya berjuang demi KAMU. Dan, aku tentunya…. Yang menulis surat ini.
Duhh, sudah mulai tegang, tapi yang harus aku sampaikan masih banyak.
Bacalah baik-baik, simpanlah baik-baik surat ini dan bersikaplah biasa saat kita bertemu di rumah, atau dimana saja, anggap saja bukan aku yang menulis dan mengirimkannya. Tapi, ingat satu ini : apa yang tertulis di surat ini bukan sekadar omong kosong atau basa-basi. Ini amanah yang tak mampu aku sampaikan dengan lisanku yang tidak berbakat untuk berbicara ‘banyak’ dan ‘dalam’ seperti ini. Sungguh, saat aku dan kamu bersama mungkin aku hanya seperti cewek kekanakan yang tak punya keberanian terhadap apapun, pemalu tingkat akut, mungkin itu semua memang benar tapi, I have been thinking anything until now if you want to know.

Ini bukan rahasia, ini hal yang sebenarnya sangat umum dalam setiap tarik nafas kehidupan manusia. Kemarin, saat aku mampir ke Cikarang menemui Bapak dan Mae, Bapak berpesan padaku saat mengantarku mencari bus, pesannya simple saja, tapi berat. Menyemangatimu yang sedang tidak betah, mendorongmu untuk tetap bertahan. Lihat, sederhana sekali bukan? Tapi, sulit kalau objeknya adalah KAMU.  Apa yang harus aku katakan? Aku sendiri saja sering ‘merasa’ dan ‘mengira’ aku salah tempat dan pada akhirnya menyemangati diri sendiri. Oyaa, mungkin suatu saat nanti akan aku ceritakan padamu tentang dua teman setiaku, senja dan shubuh hari.
Sampai pada akhirnya aku menemukan ide untuk menulis surat ini, menulis saja yang aku bisa. Menulis, yang padahal paling malas aku lakukan. Meski setiap kali aku menemukan ‘something’, ada sesuatu di kepalaku yang terasa seperti pulpen menulis sendiri, berkisah sendiri dan saat aku sudah siap menari di depan keyboard, buzzzz…. Lenyap. Membuatku bingung apa yang tadi akan aku tulis. Sorry ya, curhat dikit. :D

Masih ingat tentang syukur tadi, kan? Aku tahu kamu bukan pelupa.
Kamu dan aku seharusnya bersyukur banyak-banyak karena Bapak dan Mae adalah tipe orang tua yang memperhatikan pendidikan anak-anaknya, bahkan dengan keadaaan ekonomi yang mungkin jika di-flashback pada 4 atau 5 tahun lalu tak akan mungkin bisa mengantarkan aku ke tingkat perguruan tinggi seperti sekarang, dan nyatanya memang tidak karena  aku mendapat beasiswa. Tapi, kamu bisa sampai SMA, kan? Mae harus sampai turun ikut bekerja juga. Dengan keadaan ekonomi yang seperti itu Bapak mungkin bisa membiarkan kita bekerja setelah lulus sekolah, membiarkan kita menguras tenaga untuk mengumpulkan berkarung-karung uang, membiarkan kita merantau ke kota orang menjadi bagian diantara jutaan orang yang mengadu nasib. Membeli motor, memperbaiki rumah, membeli perabot-perabot mahal, setelah itu menikah.  Dan, apalagi yang akan terjadi selain kita menunggu mati? Lalu, pernahkah bertanya dengan skenario seperti yang aku ceritakan itu bekal apa yang sudah kita persiapkan? Kalau dalam skenario itu tak pernah sekelebatpun terlintas mengumpulkan uang untuk membuat panti asuhan, panti tempat anak-anak jalanan, rumah baca, atau untuk kegiatan sosial lainnya dan menunaikan rukum islam yang kelima tentu kita belum punya bekal banyak. Bahkan, prasangkaku yang paling buruk dengan skenario itu adalah kita menjadi orang-orang yang lalai, foya-foya, tak berniat mengkaji agama lebih jauh atau menghapalkan juz 30 seperti sekarang. Hei, aku baru ingat, sudah sampai surat apa hapalanmu??


Allah masih baik kan pada kita, melalui orang tua yang ‘unpredictable’ (aku sedang suka sekali menggunakan istilah itu akhir-akhir ini). J Aku masih ingat pesan Bapak, bahwa kita harus lebih baik daripada Bapak, yang cuma lulusan SD, kuli bangunan lagi. Begitu Bapak selalu menyemangati. Apakah kamu pernah merenungkan Bapak dan Mae yang ternyata sangat luar biasa? Bapak dan Mae tak pernah membebani kita dengan pilihan, harus sekolah disini, harus seperti ini, harus seperti itu. Kebebasan untuk memilih ada pada kita, Bapak dan Mae hanya mengarahkan sisi baiknya, ya kan? Pernahkan kamu sadar itu? Kemarahan yang mungkin muncul itu karena kita tak dengan mudah patuh pada nasehatnya, itu saja. Kita diberi kebebasan untuk menimba ilmu lebih jauh, kalau kamu belum percaya bahwa kekuatan ilmu ini akan lebih luarbiasa dibanding harta, kita lihat 10 tahun atau bahkan 5 tahun lagi. What would our life be??

0 komentar:

Post a Comment

 

Block Note Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template