Tuesday, December 31, 2013

Friendship is Bullshit !

What is Friendship? Its bullshit !

Sahabat? That is the familiar word in Anis’ life, but such the rarely thing she meet. Yeah, so ironic !
Sampai saat ini tanda tanya besar dalam kepalaku tentang makna sahabat belum terjawab secara memuaskan, mungkin karena itulah sampai saat ini pula aku belum menemukan ‘the truly one’ yang bisa aku sebut sahabat.
Apakah sahabat itu sosok anak kecil berseragam merah putih yang selalu menjejeri langkah pulang kita dan sekarang menjelma orang dewasa yang masih setia menjalin komunikasi bahkan walaupun jarak berkilometer memisahkan?
Apakah sahabat itu sosok orang yang selalu ada dimanapun kita berada, menempel seperti sebab dan akibat? Kalau kata orang seperti amplop dan perangko? Atau kadang mereka menyebut pula ‘soulmate’?
Apakah sahabat boleh diaku sebagai suatu kepemilikan, dengan menihilkan kedekatannya dengan orang lain? Orang lain yang juga mungkin menjadikannya sahabat. Bolehkah keegoisan untuk merasa memiliki dia sebagai ‘THE ONLY ONE FOR ME’?
Jangan bertanya padaku karena aku pun sedang mencari jawabannya. -__-
Kenapa urusan sahabat ini begitu ingin kupersoalkan? Kenapa aku bersedia mengalokasikan ‘space’ dalam otakku yang sempit ini untuk satu kata bertajuk SAHABAT? Dan, kenapa pula terlalu banyak pertanyaannya yang harus diajukkan? Kenapa terlalu banyak kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Argghh

Okee, stop it now ! Mari mulai menyimak ceracauan Anis yang benar-benar sedang kacau.

Ini adalah sebuah kisah antara Mei dan Juli. Dua orang wanita yang dekat, dekat secara fisik dan hati. Ya, setidaknya saat awal keduanya berjumpa sampai saat ini, itu yang dirasakan Mei. Kenapa Mei? Karena dia yang datang saat gerimis mencapai atap rumah sore itu
 dan menceritakan kisah ini padaku.  Jadi, jangan tanyakan apakah Juli juga merasakan hal yang sama seperti Mei. Aku tak tahu, belum tahu tepatnya.

Mereka pertama kali bertemu saat status mereka sebagai pelajar SMA resmi ditanggalkan dan berganti menjadi mahasiswa, istilah yang benar-benar terdengar hebat, luarbiasa, dan tak terbayangkan di telinga para abu-abuers. Ya, entah bagaimana Allah menuntun setiap momen menuju takdir yang menjadikan mereka akhirnya bertemu dalam OSPEK penerimaan mahasiswa baru di kampus tempat mereka menimba ber-ember-ember ilmu untuk menjadi guru sekarang. Lagi-lagi, entah bagaimana Allah mengatur semuanya hingga yang mereka tahu hanya bahwa mereka ditempatkan pada satu kelas yang sama, mereka sekelas. Then, all the things started there. J

Seiring berjalannya waktu, Mei dan Juli menjadi semakin dekat. Mei bilang kedekatan itu tidak lain dan tidak bukan karena mekanisme yang Allah punya, “Pernah dengar ukhuwah islamiyah?” tanya Mei padaku waktu itu. “Makanan apa itu, Mei?” aku menjawab berkelakar. Mei memajukkan bibirnya, manyun. Aku tertawa, menimpali lagi “Iya, Mei. Tahu…tahu…”
Sejak menyandang predikat mahasiswa, Mei berada dalam lingkungan dimana wanita-wanita yang menjaga auratnya senantiasa mengalun doa, kata Mei namanya doa robithoh. Selantunan doa agar ikatan-ikatan tak kasat mata antara dia dan ‘saudara-saudara baru’nya disana tetap kokoh bahkan menguat. Mungkin melalui doa itu ikatannya makin menguat dengan Juli. Sekali lagi, setidaknya itulah yang Mei rasakan.

Saat jam-jam perkuliahan di dalam kelas seperti sudah disetel otomatis, Mei dan Juli akan selalu duduk berdekatan. Tanpa diminta, Mei akan menyiapkan satu bangku kosong untuk tempat duduk Juli saat ia yang lebih dulu berangkat, kadang Juli yang berlaku seperti itu. Tugas-tugas kuliah yang harus dikerjakan secara berkelompok pun menjadi salah satu kesempatan dimana teman-teman akan menjumpai Mei dan Juli bersama, melebur seperti fusi dalam ilmu fisika. Yang paling keren menurut Mei adalah bahwa mereka SELALU dalam rombel yang sama untuk mata kuliah umum dimana mereka bisa bertemu mahasiswa dari fakultas lain.  Kece banget mereka berdua J

Sampai sejauh ini Mei masih merasa ‘all iz well’. Yeah, no one can know what is God’s plan, huh?

Ya, manusia bukan Allah yang bahkan tahu satu daun yang akan gugur 5 menit lagi dari tangkainya. Mei juga tak pernah tahu, tak pernah tahu lebih mendalam tentang Juli. Jadi, ‘dekat’ itu mungkin menjadi semacam istilah yang salah paham bagi Mei. Sungguh, Mei pun tak paham apa makna ‘kedekatan’ mereka berdua selama ini. Kadang, Mei merasa benar-benar memahami perasaan, watak, dan kemauan Juli. Tapi, di lain waktu saat Juli sedang bersama ‘seseorang’ Mei merasa keakraban mereka selama ini ‘nothing’. Meanless. Tidak berarti apa-apa sama sekali. Menyedihkan. Mei cuma bisa merenung di pojokan dan bertanya pada hening yang mengurungnya. Sudah pasti ada yang salah, tapi Mei sendiri takut mempermasalahkan ‘kesalahan’ itu.

Hey, tadi ada kata ‘seseorang’? Kenapa diberi tanda petik? Ya, memang ada seorang wanita lain Mei tak tahu bulan lahirnya jadi panggil saja dia Bulan. Akhir-akhir ini Mei baru saja menyadari bahwa jiwa Juli lebih tertambat pada satu jiwa, jiwa yang membuat senyum Juli tak pernah absen dari wajahnya jika mereka berdua bertemu, jiwa yang membuat Juli lebih puitis dari biasanya, jiwa yang membuat senja yang Juli punya lebih syahdu, indah, dan meaningful.

Juli bahkan pernah menunjukkan sebuah gelang berbandul potongan hati kepada Mei, tapi tak Juli katakan bahwa itu tanda ‘persahabatan’nya dengan wanita bernama Bulan tadi. Ada sepasang mungkin, satu potongan lagi Mei menerka melingkar di pergelangan tangan Bulan, mata Mei belum menemukan buktinya. Mei merasa ada jiwa yang Juli hadirkan saat mereka berdua (Juli & Bulan) bersama. Juli dan Bulan punya satu momen senja yang menyatukan jiwa mereka. Senja itu meng’capture’ sosok mereka berdua dalam pigura persahabatan yang lebih dari sekadar ungkapan bibir, lebih dari sekadar definisi persahabatan yang mampu orang uraikan. Mereka menciptakan bukti-bukti yang tanpa mereka sadari menjadikan mereka ber-SAHABAT. Dan, satu lagi sebuah lagu yang sering Juli dendangkan, ya setidaknya walau hanya senandung kecil tapi Mei sering mendengarnya, lagu berjudul ‘Fix You’ –nya Coldplay.
Ya, Mei sadar. Sangat sadar sekali, dia salah, salah memahami, memaknai, dan, mengartikan hubungannya dengan Juli selama ini. Mereka hanya ‘dekat’, dan itu cukup. Sudah. Cukup membaca semuanya.

Makna persahabatan yang Mei cari selama ini tak dia temukan dalam ‘kedekatan’ itu, they just close. Yah, cuma dekat. Jangan mengubek-ubek makna lain yang mungkin ada dalam ‘kedekatan’ itu. Tak ada yang lebih mendalam.
“Jangan memberikan harapan palsu pada dirimu sendiri, Nies.” Pesan Mei padaku.

Mei bilang itu semua memang salahnya, salahnya menjadi orang introvert. Kenapa dia tak dengan mudah menjadi terbuka pada orang yang sudah dekat dengannya. Tidak mudah membagi senja yang bahkan mungkin lebih baik dari senja milik Bulan. Mei mampu memberi senja yang lebih bermakna, lebih syahdu, lebih istimewa, kalau Juli mau Mei mau membaginya. Tak ada yang tertarik dengan senja milik Mei, Mei terlalu ‘tertutup’. “Oya, oke itu memang salahku.” Mei menunduk memandang lantai keramik, menatap pantulan wajahnya yang tak jelas.

Mungkin, Mei juga cemburu. Cemburu karena bukan dia yang ada di posisi Bulan. Cemburu karena tidak mampu membuat jiwa Juli tertambat padanya. Apakah persahabatan boleh seperti itu? Apakah persahabatan boleh membuat sahabatnya sendiri merasa dimonopoli? Dimiliki hanya oleh orang yang mengaku sebagai sahabatnya? “Oke, sampai sini aku memang salah lagi.” Kali ini Mei membuang muka ke arah jendela yang basah di luarnya, sedang hujan.

“Aku orang melankolis, Nies.” Celetuk Mei tiba-tiba.
Sama persis denganku, aku menimpali dalam hati. Karakter orang melankolis yang sangat khas adalah tertutup dan skeptisnya. Gabungan dua sifat yang seperti pertandingan sepakbola ‘bigmatch’. Orang yang berteman dengan orang melankolis harus senantiasa menguatkan kesabarannya. Berteman saja seperti itu, apalagi bersahabat. Siapa orang yang mau coba?

“Aku ada janji dengan senja hari ini. Itu saja ceritaku, bolehlah kamu share kalau memang ada manfaatnya. Atau mungkin kamu tulis menjadi sebuah novel. Hahaha… aku dengar dari senja kau pintar menulis.”
Lalu Mei berlalu menutup pintu setelah mengucapkan salam.
Terimakasih sudah mau berkisah, Mei.

Kenapa pas sekali dengan aku yang sedang ingin membahas tentang sahabat? Hahaha, jangan tertipu. Ini aku pas-paskan saja. Bukankah dunia memang panggung sandiwara? So, just join the drama, but don’t make yourself die in it.
Menjadi orang yang tertutup bukan berarti mereka tak butuh teman, tak butuh sahabat, tak butuh orang tua. Justru orang yang tertutup SANGAT butuh, mereka hanya mencari yang benar-benar tepat, mereka tidak ingin salah dan membuat diri mereka sendiri tersakiti karena salah memilih orang yang dapat menjadi ‘kotak pandora’ mereka.
Mungkin itu pula yang mendorong mereka bertualang mencari jawaban dari semua pertanyaan tentang makna sahabat dalam hidup mereka. Jangan heran jika mereka sulit menemukan jawabannya. Hidup mereka terlalu mereka buat kompleks.
Karakter orang yang tertutup belum tentu menjadikan mereka anti-sosial, justru petualangan mereka itu yang membuat mereka dapat berteman dengan siapa saja. Mencerna, membaca, dan mengkaji karakter orang yang DEKAT dengan mereka. Ber-TEMAN dengan banyak orang, berteman dengan siapa saja, dengan harapan mereka bisa menemukan orang yang layak dan mau untuk menjadi SAHABAT. Dan tentang pertanyaan-pertanyaan memuakkan yang aku kemukakan di atas, kini aku menemukan jawabannya. Entah walaupun orang lain tak setuju, tapi sejauh yang aku rasakan dan sejauh yang aku temui, inilah jawabanku. Friendship is bullshit !
Jangan menyerangku dulu, dengan kesimpulan sementara itu percayalah aku masih senantiasa mencari, menjelajahi, dan memunguti makna-makna sahabat yang mungkin aku temui. Aku masih bertualang.

Dan, percayalah…aku orang tertutup. Temanku senja dan shubuh hari.
Just it, keep stand in my own effort with Allah’s love. J



0 komentar:

Post a Comment

 

Block Note Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template