What is Friendship? It’s bullshit !
Sahabat?
That is the familiar word in Anis’ life, but such the rarely thing she meet.
Yeah, so ironic !
Sampai
saat ini tanda tanya besar dalam kepalaku tentang makna sahabat belum terjawab
secara memuaskan, mungkin karena itulah sampai saat ini pula aku belum
menemukan ‘the truly one’ yang bisa aku sebut sahabat.
Apakah
sahabat itu sosok anak kecil berseragam merah putih yang selalu menjejeri
langkah pulang kita dan sekarang menjelma orang dewasa yang masih setia
menjalin komunikasi bahkan walaupun jarak berkilometer memisahkan?
Apakah
sahabat itu sosok orang yang selalu ada dimanapun kita berada, menempel seperti
sebab dan akibat? Kalau kata orang seperti amplop dan perangko? Atau kadang
mereka menyebut pula ‘soulmate’?
Apakah
sahabat boleh diaku sebagai suatu kepemilikan, dengan menihilkan kedekatannya
dengan orang lain? Orang lain yang juga mungkin menjadikannya sahabat. Bolehkah
keegoisan untuk merasa memiliki dia sebagai ‘THE ONLY ONE FOR ME’?
Jangan
bertanya padaku karena aku pun sedang mencari jawabannya. -__-
Kenapa
urusan sahabat ini begitu ingin kupersoalkan? Kenapa aku bersedia
mengalokasikan ‘space’ dalam otakku yang sempit ini untuk satu kata bertajuk
SAHABAT? Dan, kenapa pula terlalu banyak pertanyaannya yang harus diajukkan?
Kenapa terlalu banyak kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Argghh
Okee,
stop it now ! Mari mulai menyimak ceracauan Anis yang benar-benar sedang kacau.
Ini
adalah sebuah kisah antara Mei dan Juli. Dua orang wanita yang dekat, dekat
secara fisik dan hati. Ya, setidaknya saat awal keduanya berjumpa sampai saat
ini, itu yang dirasakan Mei. Kenapa Mei? Karena dia yang datang saat gerimis
mencapai atap rumah sore itu
dan menceritakan kisah ini padaku. Jadi, jangan tanyakan apakah Juli juga
merasakan hal yang sama seperti Mei. Aku tak tahu, belum tahu tepatnya.
Mereka
pertama kali bertemu saat status mereka sebagai pelajar SMA resmi ditanggalkan
dan berganti menjadi mahasiswa, istilah yang benar-benar terdengar hebat,
luarbiasa, dan tak terbayangkan di telinga para abu-abuers. Ya, entah bagaimana
Allah menuntun setiap momen menuju takdir yang menjadikan mereka akhirnya
bertemu dalam OSPEK penerimaan mahasiswa baru di kampus tempat mereka menimba
ber-ember-ember ilmu untuk menjadi guru sekarang. Lagi-lagi, entah bagaimana
Allah mengatur semuanya hingga yang mereka tahu hanya bahwa mereka ditempatkan
pada satu kelas yang sama, mereka sekelas. Then, all the things started there. J
Seiring
berjalannya waktu, Mei dan Juli menjadi semakin dekat. Mei bilang kedekatan itu
tidak lain dan tidak bukan karena mekanisme yang Allah punya, “Pernah dengar
ukhuwah islamiyah?” tanya Mei padaku waktu itu. “Makanan apa itu, Mei?” aku
menjawab berkelakar. Mei memajukkan bibirnya, manyun. Aku tertawa, menimpali
lagi “Iya, Mei. Tahu…tahu…”
Sejak
menyandang predikat mahasiswa, Mei berada dalam lingkungan dimana wanita-wanita
yang menjaga auratnya senantiasa mengalun doa, kata Mei namanya doa robithoh.
Selantunan doa agar ikatan-ikatan tak kasat mata antara dia dan
‘saudara-saudara baru’nya disana tetap kokoh bahkan menguat. Mungkin melalui
doa itu ikatannya makin menguat dengan Juli. Sekali lagi, setidaknya itulah
yang Mei rasakan.
Saat
jam-jam perkuliahan di dalam kelas seperti sudah disetel otomatis, Mei dan Juli
akan selalu duduk berdekatan. Tanpa diminta, Mei akan menyiapkan satu bangku
kosong untuk tempat duduk Juli saat ia yang lebih dulu berangkat, kadang Juli
yang berlaku seperti itu. Tugas-tugas kuliah yang harus dikerjakan secara
berkelompok pun menjadi salah satu kesempatan dimana teman-teman akan menjumpai
Mei dan Juli bersama, melebur seperti fusi dalam ilmu fisika. Yang paling keren
menurut Mei adalah bahwa mereka SELALU dalam rombel yang sama untuk mata kuliah
umum dimana mereka bisa bertemu mahasiswa dari fakultas lain. Kece banget mereka berdua J
Sampai
sejauh ini Mei masih merasa ‘all iz well’. Yeah, no one can know what is God’s
plan, huh?
Ya,
manusia bukan Allah yang bahkan tahu satu daun yang akan gugur 5 menit lagi
dari tangkainya. Mei juga tak pernah tahu, tak pernah tahu lebih mendalam
tentang Juli. Jadi, ‘dekat’ itu mungkin menjadi semacam istilah yang salah
paham bagi Mei. Sungguh, Mei pun tak paham apa makna ‘kedekatan’ mereka berdua
selama ini. Kadang, Mei merasa benar-benar memahami perasaan, watak, dan
kemauan Juli. Tapi, di lain waktu saat Juli sedang bersama ‘seseorang’ Mei
merasa keakraban mereka selama ini ‘nothing’. Meanless. Tidak berarti apa-apa
sama sekali. Menyedihkan. Mei cuma bisa merenung di pojokan dan bertanya pada
hening yang mengurungnya. Sudah pasti ada yang salah, tapi Mei sendiri takut
mempermasalahkan ‘kesalahan’ itu.
Hey,
tadi ada kata ‘seseorang’? Kenapa diberi tanda petik? Ya, memang ada seorang
wanita lain Mei tak tahu bulan lahirnya jadi panggil saja dia Bulan.
Akhir-akhir ini Mei baru saja menyadari bahwa jiwa Juli lebih tertambat pada
satu jiwa, jiwa yang membuat senyum Juli tak pernah absen dari wajahnya jika
mereka berdua bertemu, jiwa yang membuat Juli lebih puitis dari biasanya, jiwa
yang membuat senja yang Juli punya lebih syahdu, indah, dan meaningful.
Juli
bahkan pernah menunjukkan sebuah gelang berbandul potongan hati kepada Mei,
tapi tak Juli katakan bahwa itu tanda ‘persahabatan’nya dengan wanita bernama
Bulan tadi. Ada sepasang mungkin, satu potongan lagi Mei menerka melingkar di
pergelangan tangan Bulan, mata Mei belum menemukan buktinya. Mei merasa ada
jiwa yang Juli hadirkan saat mereka berdua (Juli & Bulan) bersama. Juli dan
Bulan punya satu momen senja yang menyatukan jiwa mereka. Senja itu
meng’capture’ sosok mereka berdua dalam pigura persahabatan yang lebih dari
sekadar ungkapan bibir, lebih dari sekadar definisi persahabatan yang mampu
orang uraikan. Mereka menciptakan bukti-bukti yang tanpa mereka sadari
menjadikan mereka ber-SAHABAT. Dan, satu lagi sebuah lagu yang sering Juli
dendangkan, ya setidaknya walau hanya senandung kecil tapi Mei sering
mendengarnya, lagu berjudul ‘Fix You’ –nya Coldplay.
Ya,
Mei sadar. Sangat sadar sekali, dia salah, salah memahami, memaknai, dan,
mengartikan hubungannya dengan Juli selama ini. Mereka hanya ‘dekat’, dan itu
cukup. Sudah. Cukup membaca semuanya.
Makna
persahabatan yang Mei cari selama ini tak dia temukan dalam ‘kedekatan’ itu, they
just close. Yah, cuma dekat. Jangan mengubek-ubek makna lain yang mungkin ada
dalam ‘kedekatan’ itu. Tak ada yang lebih mendalam.
“Jangan
memberikan harapan palsu pada dirimu sendiri, Nies.” Pesan Mei padaku.
Mei
bilang itu semua memang salahnya, salahnya menjadi orang introvert. Kenapa dia
tak dengan mudah menjadi terbuka pada orang yang sudah dekat dengannya. Tidak
mudah membagi senja yang bahkan mungkin lebih baik dari senja milik Bulan. Mei
mampu memberi senja yang lebih bermakna, lebih syahdu, lebih istimewa, kalau
Juli mau Mei mau membaginya. Tak ada yang tertarik dengan senja milik Mei, Mei
terlalu ‘tertutup’. “Oya, oke itu memang salahku.” Mei menunduk memandang
lantai keramik, menatap pantulan wajahnya yang tak jelas.
Mungkin,
Mei juga cemburu. Cemburu karena bukan dia yang ada di posisi Bulan. Cemburu
karena tidak mampu membuat jiwa Juli tertambat padanya. Apakah persahabatan
boleh seperti itu? Apakah persahabatan boleh membuat sahabatnya sendiri merasa
dimonopoli? Dimiliki hanya oleh orang yang mengaku sebagai sahabatnya? “Oke,
sampai sini aku memang salah lagi.” Kali ini Mei membuang muka ke arah jendela
yang basah di luarnya, sedang hujan.
“Aku
orang melankolis, Nies.” Celetuk Mei tiba-tiba.
Sama persis denganku,
aku menimpali dalam hati. Karakter orang melankolis yang sangat khas adalah
tertutup dan skeptisnya. Gabungan dua sifat yang seperti pertandingan sepakbola
‘bigmatch’. Orang yang berteman dengan orang melankolis harus senantiasa
menguatkan kesabarannya. Berteman saja seperti itu, apalagi bersahabat. Siapa
orang yang mau coba?
“Aku
ada janji dengan senja hari ini. Itu saja ceritaku, bolehlah kamu share kalau
memang ada manfaatnya. Atau mungkin kamu tulis menjadi sebuah novel. Hahaha…
aku dengar dari senja kau pintar menulis.”
Lalu
Mei berlalu menutup pintu setelah mengucapkan salam.
Terimakasih sudah mau berkisah, Mei.
Kenapa
pas sekali dengan aku yang sedang ingin membahas tentang sahabat? Hahaha,
jangan tertipu. Ini aku pas-paskan saja. Bukankah dunia memang panggung
sandiwara? So, just join the drama, but don’t make yourself die in it.
Menjadi
orang yang tertutup bukan berarti mereka tak butuh teman, tak butuh sahabat,
tak butuh orang tua. Justru orang yang tertutup SANGAT butuh, mereka hanya mencari
yang benar-benar tepat, mereka tidak ingin salah dan membuat diri mereka
sendiri tersakiti karena salah memilih orang yang dapat menjadi ‘kotak pandora’
mereka.
Mungkin
itu pula yang mendorong mereka bertualang mencari jawaban dari semua pertanyaan
tentang makna sahabat dalam hidup mereka. Jangan heran jika mereka sulit
menemukan jawabannya. Hidup mereka terlalu mereka buat kompleks.
Karakter
orang yang tertutup belum tentu menjadikan mereka anti-sosial, justru
petualangan mereka itu yang membuat mereka dapat berteman dengan siapa saja.
Mencerna, membaca, dan mengkaji karakter orang yang DEKAT dengan mereka.
Ber-TEMAN dengan banyak orang, berteman dengan siapa saja, dengan harapan
mereka bisa menemukan orang yang layak dan mau untuk menjadi SAHABAT. Dan
tentang pertanyaan-pertanyaan memuakkan yang aku kemukakan di atas, kini aku
menemukan jawabannya. Entah walaupun orang lain tak setuju, tapi sejauh yang
aku rasakan dan sejauh yang aku temui, inilah jawabanku. Friendship is bullshit
!
Jangan
menyerangku dulu, dengan kesimpulan sementara itu percayalah aku masih senantiasa
mencari, menjelajahi, dan memunguti makna-makna sahabat yang mungkin aku temui.
Aku masih bertualang.
Dan,
percayalah…aku orang tertutup. Temanku senja dan shubuh hari.
Just
it, keep stand in my own effort with Allah’s love. J
0 komentar:
Post a Comment